Daán yahya/Republika

Islam dan Peradaban China

Dari kontak budaya di Jalur Sutra hingga ketokohan Laksamana Cheng Ho, peradaban China turut memperkaya khazanah Islam.

Oleh: Hasanul Rizqa

China memiliki suatu peradaban paling tua dan lestari dalam sejarah umat manusia. Lembah Sungai Kuning (Yangtze) merupakan tempat lahirnya kebudayaan China mula-mula. Dinamakan demikian karena sungai terbesar di China utara itu kerap berwarna kuning keruh akibat longsor di tepiannya. Penduduk memanfaatkan kesuburan tanah di sekitar Sungai Kuning untuk bercocok tanam sehingga mampu membina komunitas besar.

 

Daratan China terbagi menjadi tiga daerah, yakni utara, tengah, dan selatan. China utara memiliki Peking (kini Beijing) sebagai kota pentingnya. Adapun China tengah berpusat di Nanjing. Antara China utara dan China tengah terpisahkan deret pegunungan yang sukar dilalui. Wilayah China selatan memiliki kontur berbukit-bukit sampai ke pesisirnya di sebelah tenggara. Kota terpentingnya adalah Kanton dengan pelabuhan dagangnya yang selalu ramai, menghadap ke Laut China Selatan. Ketiganya sampai hari ini masih menjadi kota-kota besar di Republik Rakyat China (RRC).

 

Asal nama China berasal dari nama dinasti Ch'in yang berkuasa sepanjang tahun 221-206 sebelum Masehi (SM). Shi Huang Ti merupakan pendiri dinasti tersebut sekaligus kaisar pertama yang mampu menyatukan China secara politik. Nama lain China adalah Tiongkok, yang berasal dari istilah Chung-kuo. Kata chung berarti 'tengah', sedangkan kuo artinya 'negeri'. Para penguasa China senang menganggap negerinya berada di tengah-tengah atau sebagai pusat dunia.

 

China juga terkenal dengan Jalur Sutra yang besar pengaruhnya dalam menghubungkan kebudayaan Timur dan Barat. Mungkin, sutra China merupakan komoditas yang sering diperdagangkan melaluinya sehingga menjadi nama jalur tersebut. Peter Frankopan, penulis buku The Silk Roads A New History of the World (2015), menjelaskan, pada 119 SM Dinasti Han (206 SM-220 M) merebut koridor Gansu, sebuah wilayah strategis di China tengah. Dari sana, penguasa Han kala itu terus berekspansi ke barat hingga Pegunungan Pamir di Asia Tengah. Sejak saat itulah, kata Frankopan, Jalur Sutra lahir sebagai penghubung lintas benua.

 

Inilah yang antara lain menjembatani kebudayaan China dengan negeri-negeri di sebelah barat, termasuk Arab dan Eropa. Dalam abad pertama Masehi, dunia menyaksikan dua imperium besar, yakni Han di timur dan Romawi di barat. Jalur Sutra menghubungkan keduanya di rute darat, sedangkan rute laut kapal-kapal yang membawa para peniaga dan utusan politik dapat berlayar melalui Kanton kemudian Selat Malaka, Samudra Hindia, Laut Merah, hingga ke Laut Mediterania. Barang-barang mewah dari China merupakan kegemaran para elite Romawi yang sedang mengalami masa-masa makmur. Orang-orang Arab kerap menjadi pedagang perantara dalam jalur perniagaan antara China dan Romawi.

 

Pada zaman Nabi Muhammad SAW hidup, negeri China sedang dikuasai Dinasti Tang (618-906). Penguasa Tang gemar membangun relasi bisnis dengan ribuan utusan dari barat, termasuk Arab dan Persia. Mi Shoujiang dan You Jia dalam karyanya, Islam in China, menulis, selama 148 tahun sebanyak 37 orang utusan Arab mengunjungi pusat pemerintahan Dinasti Tang. Sejak kepemimpinan Kaisar Gaozong (meninggal 683) hingga Kaisar Dezong (meninggal 805), Dinasti Tang mengalami masa keemasan. Namun, pecahnya pemberontakan An-Shi (755-763) mulai melemahkan wangsa tersebut. Kudeta ini dipimpin Jenderal An Lushan yang mendaulat dirinya sebagai kaisar baru di China utara.

dok wikipedia

Kekhalifahan dan kekaisaran

 

Sejak abad kedelapan Masehi, peradaban Islam direpresentasikan Kekhalifahan Bani Abbasiyah. Atas permintaan Kaisar Zongyun, Dinasti Abbasiyah membantu memadamkan pemberontakan An-Shi hingga tuntas. Sejumlah barak militer Abbasiyah berdiri sebagai hunian bagi tentara Muslim selama bertugas di wilayah Tang. Mereka kemudian banyak berinteraksi dengan penduduk lokal. Akhirnya, orang-orang China, khususnya di wilayah barat, mulai mengenal Islam.

 

Orang tempatan menyebut kaum Muslim sebagai Zhu Tang, yang berarti literal 'orang asing yang tinggal.' Kebanyakan mereka berkebangsaan Arab atau Persia serta berprofesi sebagai pedagang, diplomat, atau tentara. Kebanyakan menetap di kota-kota. Cukup banyak pula di antara mereka yang menikah dengan orang China setempat. Keturunannya disebut sebagai Fan Ke.

 

Namun, dakwah Islam lebih banyak tersebar melalui diplomasi maritim. Jauh sebelum Rasulullah SAW lahir, para pelaut Arab telah memiliki kontak bisnis dengan orang China. Mereka berlayar melalui Samudra Hindia, melewati Selat Malaka, dan akhirnya sampai di pesisir Laut China Selatan, antara lain kota pelabuhan Guangzhou. Satu contoh signifikansi jalur laut adalah keberadaan masjid tertua di China, Masjid Huaisheng, di Guangzhou.

 

Bangunan bersejarah itu konon didirikan oleh paman Rasulullah SAW, Sa'ad bin Abi Waqqas. Kisah kedatangan Sa'ad ke China bermula dari keberhasilan pasukan Muslim menaklukkan Persia di era Khalifah Utsman bin Affan. Kaisar Persia saat itu, Yazdegerd III (632-651), melarikan diri dari singgasananya saat pasukan Muslim sudah menggempur Ibukota Persia. Dia lantas meminta perlindungan kepada antara lain Kaisar Tai Tsung.

 

Awalnya, penguasa Dinasti Tang itu tidak memedulikannya karena enggan berhadapan dengan pasukan Muslim yang terkenal militan. Namun, kaisar setelahnya, Yong Hui, ternyata bervisi ambisius, yakni ingin melebarkan kekuasaan ke arah barat. Namun, upaya militer Yong Hui gagal. Bahkan, pasukan Muslim di bawah komando Ahnaf bin Kais al-Tamimi berhasil membunuh Yazdegerd III di tepi Sungai Oxus. Sebagai bentuk protes, Khalifah Utsman mengirim utusan ke ibukota pemerintahan Dinasti Tang di Chang'an (kini kota Xi'an, Provinsi Shaanxi, RRC). Utusan itu dipimpin Sa'ad bin Abi Waqqas, yang sebelumnya juga terlibat dalam penaklukan Persia.

 

Sa'ad dan rombongan sempat transit di Abesinia (Ethiopia) sebelum mengarungi Samudra Hindia untuk menuju pesisir Laut China Selatan. Kapal-kapal layar mereka tiba di Guangzhou pada 616. Penguasa Dinasti Tang saat itu, Kaisar Kao-tsung, menerima kedatangan Sa'ad bin Abi Waqqas sebagai tamu kerajaan dan menjamin keamanan mereka selama di China. Setelah kesepakatan tercapak, kaisar itu mengizinkan Sa'ad untuk tinggal dan bahkan boleh menyebarkan Islam di Guangzhou. Dakwah pun berlangsung kira-kira 18 tahun lamanya. Sa'ad terus menyebarkan syiar Islam di negeri China hingga wafatnya dalam usia 80 tahun. Konon, jenazah paman Rasulullah SAW itu dikebumikan di sekitar kompleks Masjid Huaisheng.

 

Selain Masjid Huasheng, beberapa rumah ibadah Muslim juga dibangun dalam era dinasti-dinasti klasik. Sebut saja Masjid Qingjing di Quanzhou dan Masjid Xianhe di Yangzhou. Keduanya termasuk wilayah kekuasaan Dinasti Song. Ada pula Masjid Fenghuang di Hangzhou yang dibangun dalam masa Dinasti Yuan. Keempat rumah ibadah itu--Huaisheng, Qingjing, Xianhe, dan Fenghuang--kini dijuluki sebagai Empat Masjid Kuno di China. Pemerintah setempat menggolongkannya sebagai bangunan cagar budaya.

 

Sejak abad kedelapan pula, orang-orang China pada umumnya menyebut Islam dengan pelbagai nama. Dalam era Dinasti Tang, Islam disebut sebagai Dashi Jiao. Kata dashi merujuk pada Arab, sedangkan jiao berarti agama atau kepercayaan. Selanjutnya, di zaman Dinasti Ming (1368–1644) Islam dipanggil dengan nama Tianfang Jiao, 'agamanya bangsa Arab', atau Hui Hui Jiao. Sebab, pada masa itu cukup banyak suku bangsa Hui yang memeluk Islam, sampai-sampai orang Hui dianggap representasi Muslim China.

 

Secara total, ada 56 suku bangsa yang menghuni wilayah RRC. Sepuluh di antaranya yang memiliki pemeluk Islam dalam jumlah signifikan, yakni Hui, Uighur, Kazak, Dongxiang, Khalkhas, Sala, Tajik, Uzbek, Bao'an, dan Tatar. Sampai hari ini, Hui merupakan suku bangsa di RRC yang mayoritasnya menganut Islam. Menurut sensus tahun 2011, sekitar 10,5 juta orang Hui tinggal di negara komunis tersebut.

 

Penamaan selanjutnya yang lebih apresiatif berlangsung di zaman Dinasti Qing (1636-1917). Elite Qing menyebut Islam sebagai Qingzhen Jiao, yakni 'agama yang murni'. Beranjak ke era modern, Islam tentunya telah dikenal luas. Sejak RRC berdiri resmi pada 1 Oktober 1949, ada aturan negara setempat yang mengimbau agar agama ini disebut sebagai Islam saja, tanpa disertai embel-embel yang merujuk pada etnis tertentu.

 

Semasa Dinasti Tang dan Dinasti Song, Islam bersemi dengan cukup pesat di China. Kebanyakan kaum Muslim setempat menghuni daerah perkotaan atau kawasan pelabuhan dagang. Penguasa China saat itu tidak keberatan dengan aktivitas kaum Muslim yang mayoritasnya merupakan pedagang atau diplomat dari negeri-negeri luar.

 

Tambahan pula, diplomasi China dengan kekhilafahan Muslim berlangsung dengan cukup harmonis dalam beberapa ratus tahun. Komunitas Muslim China, dengan demikian, dapat menjalani mobilitas sosial dan menjadi bagian dari birokrasi kekaisaran. Mereka yang memiliki darah pendatang dengan cepat berbaur bersama masyarakat China asli.

Asmaul Husna dalam aksara China | dok wikipedia

Kontak budaya di China barat

 

Perkembangan yang signifikan terus terjadi di wilayah barat China. Menjelang habis kekuasaan Dinasti Tang pada 840, suku bangsa Hui Hus hijrah ke arah barat. Kelompok yang paling mengemuka dipimpin Panglima Pangteqin. Dia memimpin pengikutnya untuk menyeberangi Sungai Chu untuk sampai ke tanah yang dikuasai suku nomad Garluq. Asimilasi antara suku Hui Hus dan Garluq melahirkan corak kebangsaan baru bernama Karakitai, yang mampu bertahan selama 370 tahun sejak medio abad kesembilan. Suku Karakitai bertahan menghadapi jatuh-bangunnya pelbagai dinasti kekuasaan di China sampai abad ke-13.

 

Satuk Boghra Khan (910-956) merupakan pemimpin suku Karakitai pertama yang memaklumkan diri memeluk Islam. Dia lantas berganti nama menjadi Abdul Karim. Para sejarawan menduga, Satuk menjadi Muslim lantaran pengaruh kebudayaan Dinasti Samanid (819-999), yang berpusat di Samarkand. Pada 960, Musa, putra sekaligus penerus tahta Satuk, meresmikan Islam sebagai agama negara. Meskipun terhitung suku minoritas, kehadiran Karakitai penting dalam menandakan pengaruh Islam di China.

 

Sebab, suku itulah yang mula-mula menaklukkan Yutian (kini Hetian, Daerah Otonomi Xinjiang-Uyghur), Qiemo, dan Ruoqiang, sehingga mengembangkan kebudayaan Islam di China barat. Sampai kini, warisan peradaban Islam masih terpelihara baik di tengah masyarakat Xinjiang. Misalnya, bahasa Uyghur yang memakai aksara Arab atau pusat-pusat kajian Islam dan sufi. Di daerah ini, jasa para salik cukup besar dalam dakwah Islam.

 

Eksistensi khan-khan Muslim di China bukanlah ancaman bagi kekaisaran China. Bagi setiap kaisar China, orang-orang Mongol selalu membuat was-was karena besarnya kekuatan militer mereka. Terbukti, sejak tahun 1219, Mongol di bawah pimpinan Genghis Khan (1162-1227) dan kemudian anak cucunya melakukan ekspansi besar-besaran. Di puncak kekuasaannya, wilayah yang dapat ditaklukkan Mongol mencakup Asia Tengah, China, dan hingga menyentuh Eropa Timur. Namun, ekspansi ini bukan tanpa perlawanan.

 

Kala bertempur dengan tentara Kublai Khan, khan-khan Muslim di China barat menyatukan diri dengan orang-orang Arab dan Persia. Mereka semua membentuk koalisi wilayah barat untuk menggempur kekuatan Kublai Khan. Pertempuran berlangsung secara periodik. Begitu peperangan usai, para tentara Muslim tidak lantas seluruhnya kembali ke tanah air masing-masing. Beberapa kelompok di antaranya menetap di wilayah tersebut, utamanya di selatan Sungai Yangtze. Para pria mereka lantas menikah dengan perempuan lokal dan membentuk komunitas baru yang tunduk pada kekaisaran China.

 

Sejak 1271 M, bangsa Mongol berhasil menguasai kota-kota penting di China, termasuk Beijing. Mereka lantas mendirikan dinasti baru yang bernama Yuan.

 

Dalam era Dinasti Yuan, kaum Muslim di China Barat mengalami kenaikan strata sosial. Wangsa tersebut memberlakukan hukum piramida sosial, yang membagi-bagi masyarakat ke dalam empat kasta berdasarkan keturunan. Kasta tertinggi tentunya adalah kalangan bangsawan Yuan. Adapun orang Islam dimasukkan sebagai Se Mu, yang masih tergolong kasta menengah. Meski begitu, kalangan cerdik pandai Muslim diterima dengan baik ke dalam birokrasi Dinasti Yuan. Masjid-masjid pun dibangun dengan cukup pesat di era ini. Namun, kaisar Yuan cenderung mengeksklusi kawasan tempat tinggal kaum Muslim sehingga kurang bisa berbaur sewajarnya dengan masyarakat mayoritas.

 

Menjelang runtuhnya Dinasti Yuan, para kaisar memandang rendah kehadiran Islam. Hal ini berbeda bila dibandingkan dengan awal-awal era kekuasaan wangsa tersebut. Umpamanya, kala itu negara mengakui peran para kadi Muslim sehingga mendirikan Departemen Hukum Islam. Bahkan, beberapa Muslim ditempatkan sebagai gubernur. Misalnya, Sayyid Ajall Syamsuddin Umar al-Bukhari (wafat 1279), yang juga kakek buyut Cheng Ho, adalah gubernur Yunan. Para kaisar Dinasti Yuan pun terbilang berjasa dalam mempersilakan syiar Islam berkembang sewajarnya di China. Masjid-masjid berdiri dengan cukup bebas di kawasan mana pun tempat komunitas Muslim berada. Hal itu terjadi sepanjang tokoh Muslim setempat tunduk pada kekuasaan kaisar. Singkatnya, tidak ada konflik yang berarti antara agama dan negara.

 

Dinasti setelah keruntuhan Yuan adalah Dinasti Ming (1368–1644). Masa ini boleh dikatakan sebagai puncak kemesraan hubungan antara China dan Islam. Populasi kaum Muslim meningkat pesat di Nanjing, pusat pemerintahan Dinasti Ming. Tokoh-tokoh militer saat itu tidak sedikit yang berasal dari suku bangsa Hui dan ikut membantu munculnya Dinasti Ming menggantikan Dinasti Yuan. Beberapa dari mereka mendapatkan jabatan penting di Nanjing. Zhu Yuanzhang, kaisar pertama Dinasti Ming, mendirikan Masjid Jing Jue untuk memperingati 21 tahun kekuasaannya. Pembangunan masjid itu sebagai bentuk apresiasinya atas kesetiaan para jenderal Muslim dalam menyokong keberlangsungan Dinasti Ming. Sampai hari ini, masjid seluas 67 hekatare itu masih dapat dijumpai di Nanjing.

Laksamana Cheng Ho juga memanfaatkan ekspedisi besar ini untuk menyebarkan risalah Islam. Tujuan itu tidak bertentangan dengan maksud tuannya, yakni sang kaisar China.

Sosok Laksamana Cheng Ho

 

Di era Dinasti Ming inilah lahir laksamana Zheng He atau Cheng Ho (1371-1433). Nama aslinya adalah Ma Sanbao. Beberapa riwayat menyebut nama lain, yakni Ma He. Kata Ma merupakan pelafalan China untuk menyebut Muhammad. Cheng Ho berasal dari keturunan ningrat Muslim asal suku Hui. Kakeknya, Char Midina, dan ayahnya, Milijin, merupakan tokoh yang dihormati masyarakat setempat. Usai beribadah haji ke Makkah, masing-masing bergelar Haji Ma.

 

Saat Lan Yu dan Mu Ying menyerang Yunnan, dua panglima Dinasti Ming itu menculik orang-orang ningrat setempat, termasuk Cheng Ho. Dia lantas dibawa ke Nanjing dan kemudian menghadap Kaisar Zhu Yuanzhang. Atas perintah sang kaisar, Cheng Ho dikirim salah seorang putra mahkota di Yan, Zhu Di. Saat pecah pemberontakan Zhu Yun yang mengancam Yan, Cheng Ho berpihak pada kubu Zhu Di. Caranya dengan menunjukkan bakat kemiliteran yang hebat dalam merancang strategi demi melumpuhkan kekuatan kubu Zhu Yun. Usai peperangan, Zhu Di mengganjar Cheng Ho dengan jabatan penting sebagai bentuk balas jasa. Beberapa tahun kemudian, Cheng Ho dinilai cukup mumpuni untuk kembali ke Nanjing demi mengabdi kepada kaisar Dinasti Ming.

 

Dalam buku Muslim Tionghoa: Cheng Ho karya Prof Kong Yuanzhi (suntingan Hembing Wijayakusuma), terjabarkan riwayat pahlawan China ini semenjak di Nanjing. Atas perintah sang kaisar, Cheng Ho memimpin armada laut Dinasti Ming ke lebih dari 30 kota di penjuru dunia. Ekspedisi besar ini dilakukannya dalam kurun waktu 28 tahun (1405-1433) dan melintasi Nusantara, Samudra Hindia, Laut Merah, pesisir Afrika Timur, dan lain-lain.

 

Berbeda dengan pelayaran yang dirintis pelaut-pelaut Eropa menjelang Abad Kolonialisme, armada Cheng Ho tidak bertujuan monopoli dagang atau penjajahan. Kekaisaran Ming menghormati kedaulatan tiap-tiap penguasa pelabuhan setempat yang didatangi Cheng Ho. Tokoh Muslim ini lebih sebagai utusan sang kaisar untuk memperkenalkan kemajuan dan ketinggian budaya Dinasti Ming kepada negeri-negeri luar. Tujuannya adalah peningkatan hubungan diplomasi dan perdagangan.

 

Pada masa itu, China memproduksi pelbagai bahan unggul, semisal kain sutra, porselen, alat besi, mesiu, dan sebagainya. Sementara itu, China juga membutuhkan komoditas dari luar, umpamanya rempah-rempah (Nusantara/Afrika Timur), parfum (Arab), perhiasan, dan lain-lain. Berkat ekspedisi Cheng Ho, hubungan antara Dinasti Ming atau China pada umumnya dengan negeri-negeri di sekitar Samudra Hindia dan Samudra Pasifik menguat.

 

Sekitar 30 negeri yang disinggahi Cheng Ho lantas mengirimkan utusannya ke Nanjing untuk membalas kunjungan Cheng Ho. Sepuluh di antaranya adalah raja-raja setempat. Misalnya, pada 1417 Raja Sulu (Filipina) yang juga seorang Muslim mengunjungi China dan bahkan wafat di sana lantaran sakit. Jasadnya dimakamkan di Dezhou, Provinsi Shandong. Bagi kerajaan-kerajaan di Nusantara, kedatangan Cheng Ho dikenang antara lain dengan pendirian patung-patung yang merepresentasikan dirinya serta cerita-cerita rakyat setempat.

 

Keunggulan armada Cheng Ho jauh mengawali kapal-kapal laut yang mengantar para penjelajah Eropa bertahun-tahun kemudian. Kong Yuanzhi mencatat, Cheng Ho setidaknya lebih awal 87 tahun ketimbang pelayaran "tersesat" Christopher Columbus yang mencapai Benua Amerika—daerah yang mulanya dikira sebagai India. Cheng Ho juga lebih dahulu 92 tahun ketimbang pelayaran Vasco da Gama yang mencapai Calcuta, India, pada 1497. Cheng Ho lebih awal 114 tahun lamanya daripada pelayaran seorang Portugis, Ferdinand Magellan, yang (hampir) mampu mengelilingi dunia. Seperti diketahui, Magellan tewas di Filipina sebelum sukses kembali ke tanah airnya. Cara Cheng Ho berlayar pun lebih periodik, yakni selama 28 tahun dalam masa pelayaran tujuh kali.

 

Secara kemampuan teknis, armada Cheng Ho juga jauh lebih unggul ketimbang kekuatan bahari Eropa pada masa itu. Bahan dasar keseluruhan kapal Cheng Ho adalah kayu berkualitas tinggi. Dalam ekspedisi pertama, Cheng Ho disertai 62 unit kapal besar yang keseluruhannya menampung lebih dari 27.800 orang awak kapal. Dalam ekspedisi berikutnya, Cheng Ho dilengkapi dengan 48 unit kapal besar jung dan lebih dari 27 ribu orang awak kapal. Dalam ekspedisinya yang terakhir, Cheng Ho berlayar dengan 61 unit kapal besar dengan sebanyak 27.550 orang awak kapal. Kapal-kapal besar Cheng Ho itu pun mampu membawa sekitar 200 kapal berukuran sedang dan kecil.

 

Kapal utama Cheng Ho dijuluki Kapal Pusaka. Panjangnya mencapai 138 meter dan lebarnya 56 meter. Para sejarawan berbeda pendapat mengenai kapasitas Kapal Pusaka. Ada yang mengatakan kapasitasnya sekitar 2.500 ton, sedangkan pendapat lain menyebut 3.000 ton. Dalam awal abad ke-15 itu, Kapal Pusaka termasuk kapal terbesar yang pernah mengapung di samudra dunia. Kapal Pusaka diiringi kapal-kapal yang mengangkut barang-barang dagang, kuda, perlengkapan tempur sebagai pertahanan diri, bahan makanan, dan lain-lain. Susunan armada Cheng Ho pun lebih teratur lantaran terbagi menjadi empat bagian, yakni komando, teknis-navigasi, kemiliteran, dan logistik.

 

Kong Yuanzhi lantas merangkum komparasi antara Cheng Ho dan para pelaut Eropa yang terkenal, yakni Christopher Columbus, Vasco da Gama, dan Ferdinand Magellan. Tentang tahun dimulainya pelayaran: 1405 (Cheng Ho), 1492 (Christopher Columbus), 1497 (Vasco da Gama), dan 1519 (Ferdinand Magellan). Tentang jumlah kapal: sekitar 260 unit kapal besar termasuk kapal utama (Cheng Ho), tiga unit kapal utama (Christopher Columbus), empat unit kapal utama (Vasco da Gama), dan lima unit kapal utama (Ferdinand Magellan). Tentang kapasitas bobot kapal dalam ton: sekitar 2.500 ton (Cheng Ho), 100 ton (Christopher Columbus), 120 ton (Vasco da Gama), dan 130 ton (Ferdinand Magellan). Tentang jumlah awak kapal: sebanyak 27.800 orang (Cheng Ho), 88 orang (Christopher Columbus), 171 orang (Vasco da Gama), dan 270 orang (Ferdinand Magellan).

 

Sebagai seorang Muslim yang taat, Laksamana Cheng Ho juga memanfaatkan ekspedisi besar ini untuk menyebarkan risalah Islam. Tujuan itu tidak bertentangan dengan maksud tuannya, yakni sang kaisar China yang ingin menunjukkan profil Dinasti Ming sebagai negeri yang menghargai kemajemukan. Agama-agama bebas berkembang di negeri China saat itu—selama mengakui kepemimpinan kaisar. Tidak sedikit ulama atau awak kapal Muslim yang disertakan Cheng Ho dalam pelayarannya. Beberapa nama di antaranya adalah Ma Huan, Guo Chongli, Hasan, Sha'ban, dan Pu Heri.

 

Dua orang yang tersebut di awal adalah ahli bahasa Arab dan Persia. Tugasnya sebagai penerjemah dan penasihat Cheng Ho di bidang kebudayaan. Seperti disebutkan Kong Yuanzhi dalam risalahnya, Ma Huan bahkan menulis buku berjudul Ying Ya Sheng Lan (Pemandangan Indahdi Seberang Samudra) saat mengikuti ekspedisi ini. Dari buku tersebut, para sejarawan mengetahui, dakwah Islam yang dilakukan Cheng Ho cukup mendominasi aktivitas diplomatiknya. Adapun Hasan merupakan seorang ulama asal Masjid Yang Shi di Xi'an, Provinsi Shan Xi.

cheng ho | dok wikipedia

Bawa misi diplomatik

 

Pada 1413, Cheng Ho meminta Hasan turut serta dalam pelayarannya yangkeempat mengarungi Samudra Hindia. Itu setelah Cheng Ho merenovasi Masjid Yang Shi atas izin sang kaisar. Di atas kapal, Hasan menjadiimam shalat dan memimpin pengurusan jenazah awak kapal yang wafat dalam perjalanan. Di negeri-negeri yang disinggahi armada Cheng Ho, Hasan berperan sebagai ulama-diplomat yang mempererat jalinan persahabatan Dinasti Ming dengan para penguasa Muslim setempat. Dua sosok lainnya, yakni Sha'ban dan Pu Heri, masing-masing adalah orangIslam berdarah India dan China daratan. Sha'ban ikut serta dalam  pelayaran Cheng Ho yang ketujuh, sedangkan Pu Heri ikut yang ketiga.

 

Negeri-negeri yang disinggahi Cheng Ho antara lain Jawa, Malaya, Brunei, Filipina, Bangladesh, India, Persia, Yaman, Oman, Somalia, Kenya, Arab, dan Mesir. Dalam pelayarannya yang ketujuh, armadanya berlabuh di kota pesisir Laut Merah untuk kemudian tiba di Jeddah.

 

Menurut Prof Kong Yuanzhi, ada perbedaan pendapat mengenai soal, apakah Cheng Ho pernah berhaji. Ada yang menyatakan, tokoh Tionghoa ini sempat memasuki Makkah dan menunaikan rukun Islam itu, bersama dengan tujuh orang penerjemah Arab. Bahkan, dengan tangannya sendiri, ia menggambar sketsa Ka'bah dan aktivitas jamaah Tanah Suci. Hasil gambar ini konon dibawa ke Nanjing untuk ditunjukkan kepada sang kaisar.

 

Adapun pendapat lainnya menegaskan, Cheng Ho tidak pernah berhaji. Bagaimanapun, ia memang mengirimkan sejumlah pelautnya ke sana dalam pelayaran terakhirnya. Memang, sejumlah anak buah Cheng Ho menulis buku catatan perjalanan.

 

Misalnya, karya Ma Huan, sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Kemudian, ada Xing Cha Seng Lan ('Pemandangan Indah Sepanjang Pelayaran') karya Fei Xin dan Xi Yang Fan Guo Zhi ('Negeri-negeri Pesisir Pasifik dan Samudra Hindia') karya Gong Zhen.

 

Perbedaan pendapat juga tampak pada soal kematian Cheng Ho. Menurut Prof Kong Yuanzhi, satu sumber menyebutkan, tokoh Tionghoa ini wafat di Kalkuta, India, pada 1433, yakni beberapa waktu usai menuntaskan pelayarannya yang ketujuh. Adapun sumber lain menyebutkan, Cheng Ho sampai ke Nanjing beberapa tahun sesudah singgah di India. Ia pun wafat di Nanjing pada 1435.

 Masjid Cheng Hoo di Jambi | dok antara

Sumbangsih peradaban China

 

Kehebatan ekspedisi Cheng Ho hanya mungkin dengan dukungan teknologi bahari China yang unggul dalam masa itu. Menurut Michael L Bosworth dalam artikelnya, "The Rise and Fall of 15th Century Chinese Sea Power", orang-orang China sampai abad kedelapan telah mampu membuat teknologi kapal untuk transportasi di sungai-sungai dan perairan sempit. Selanjutnya, pelayaran jalur laut menghubungkan saudagar-saudagar niaga dari Arab, Persia, dan Singhala dengan orang-orang China di kota-kota pelabuhan yang menghadap Laut China Selatan.

 

Rata-rata kapal mereka mampu menampung muatan hingga 500 ton. Geliat perdagangan maritim inilah yang "memaksa" teknologi bahari China untuk berkembang lebih lanjut. Oleh karena itu, memasuki abad ketujuh China dapat dikatakan telah menjadi kekuatan bahari yang mumpuni. Sebuah catatan dari abad kedelapan menyebutkan, kapal-kapal besar di masa Kaisar Ta-Li dan Cheng Yuan sedemikian nyaman sehingga awak kapal tidak hanya dapat tinggal, melainkan bahkan membuat taman kecil di atasnya.

 

Sejak Dinasti Yuan, kekaisaran China memandang penting dominasi kekuatan maritim. Bosworth menyebutkan, sebelum abad ke-15, Samudra Hindia dapat dikatakan berada dalam dominasi armada China, meskipun bukan sebagai penjajah. Kedigdayaan China ini, lanjut dia, lebih disebabkan kemampuan para teknisi China dalam membangun kapal-kapal dengan muatan besar tetapi efisien dan ramping dalam mengarungi perairan dalam. Memasuki akhir abad ke-15, orang-orang Eropa mulai dapat memasuki lalu lintas yang sibuk di Samudra Hindia.

 

Menurut Bosworth, kala itu teknologi navigasi China mulai tersalip oleh teknologi yang dipakai armada Portugis. Hal ini juga tak lepas dari pengaruh peradaban Andalusia-Islam yang berhasil mengembangkan aljabar dan orang-orang Eropa berguru kepadanya. Namun, China masih terbilang unggul untuk urusan kapasitas muatan kapal. Akhirnya, sejak abad ke-16, kekuatan maritim Eropa mulai mendominasi perairan Asia mengalahkan China. Kondisi ini juga disebabkan gonjang-ganjing politik yang mendera pusat kekuasaan kekaisaran China. Belakangan dominasi maritim Eropa di Asia bukan hanya bertujuan monopoli komoditas ekspor, melainkan juga penjajahan yang berlangsung ratusan tahun lamanya.

top